SEJARAH DAN PENYEBARAN
Bahasa
Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah Tatar
Sunda. Namun bahasa Sunda juga dipertuturkan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah
bahasa Sunda terutama dituturkan di kabupaten Brebes dan Cilacap. Terutama banyak
nama-nama tempat di Cilacap ini yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama
Jawa seperti kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu dan sebagainya. Ironisnya nama
Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka
berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang “disundakan”. Sebab pada
abad ke-19, nama ini seringkali ditulis sebagai “Clacap”.
Selain
itu menurut beberapa pakar, konon bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah
penuturannya sampai di sekitar dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah.
Selaim
itu juga ditemukannya prasasti yang berbahasa sunda (kuno) yang diperkirakan
dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475). Salah
satu teks itu berbunyi :
“Nihan
tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu
mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu maju sakala desa.
Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana.”
(inilah peninggalan mulia, sungguhpeninggalan Prabu nRaja Wastu yang bertahta
di kota Kawali, yang memperindah kraton Surawisesa, yang membuat parit
pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada
yang dating kemudian ,membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama Berjaya di
dunia.).
Selain
prasasti juga bahasa sunda banyak dijumpai dalam bentuk naskah, anatara lain :
Ø
Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518)
“jaga
rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urng
kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu”. (hendaknya kita
tidur sekedar menghilangkan kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan
sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan, ingatlah pada suat saat
kita tidak memiliki mapa-apa).
Ø
Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Sewaka Darma “ini kawih panyaraman, pilawiheun
ubar keueung, ngarana pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang
sisya, nu huning Sewaka Darma”. (inilah kidung nasihat, untuk
di8kawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun
rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tata Krama Basa Sunda
Menurut DK Ardiwinata (1916)
1. Lemes
pisan
2. Lemes
biasa
3. Lemes
keur sorangan
4. Sedeng
5. Songong
6. Songong
paranti nyarekan
Menurut Soeria Di Radja (1929)
1. Lemes
pisan (halus sekali)
2. Lemes
(halus)
3. Sedeng
(sedang)
4. Kasar
(kasar)
5. Kasar
pisan (kasar sekali)
Menurut RI Adiwijaya (1951)
1. Luhur
(halus sekali)
2. Lemes
(halus)
3. Sedeng
(sedang)
4. Panengah
(sedang)
5. Kasar
(kasar)
6. Kasar
pisan (kasar sekali)
Menurut I Buldan Djawawiguna (1978)
1. Lemes
(halus)
2. Sedeng
(sedang)
3. Panengah
(sedang)
4. Wajar
(loma)
5. Cohag/kasar
pisan (kasar sekali)
Menurut J. Kats dan M. Soeriadiradja (1927)
1. Lemes
pisan (halus sekali)
2. Lemes
(halus)
3. Panengah
(sedang)
4. Sedeng
(sedang)
5. Kasar
(kasar)
6. Kasar
pisan (kasar sekali)
Menurut R. Satjadibrata (1943;1956)
1. Luhur
(halus sekali)
2. Lemes
(halus)
3. Panengah
(sedang)
4. Kasar
(kasar)
5. Kasar
pisan (kasar sekali)
Menurut tisnawerdaja (1975)
A. Lemes
(halus)
a)
Lemes pisan (halus sekali)
b)
Lemes biasa (halus biasa)
c)
Lemes sedeng (halus sedang)
d)
Lemes panengah (halus sedang)
B. Kasar
(kasar)
a)
Kasar biasa (kasar biasa)
b)
Kasar pisan (kasar sekali)
Tapi
dalam pergaulan biasa tidak mengacu ke sana, meskipun sebenarnya mengacu,
dikatakan tidak mengacu, karena mereka tidak mempelajari teori ini, melainkan
dengan kebiasaan mereka sehari dalam bergaul. Dari beberapa pendapat diatas
dapat disimpulkan tentang tatakrama basa sunda yang dihasilkan dari Konferensi
Kebudayaan Sunda I di Bandung dan Kongres Basa Sunda VII di Garut mengusulkan
supaya Tatakrama Basa Sunda (UUBS) cukup dua tahap, yaitu RAGAM HORMAT dan
RAGAM LOMA.
I.
RAGAM BASA HORMAT
Pada
hakikatnya ragam basa hormat digunakan tidak lain untuk memperlihatkan rasa
hormat dari orang yang bicara kepada orang yang diajak bicara dan kepada siapa
itu dicerikannya. Ragam basa hormat ada enam jenis, yaitu :
1. Ragam
Basa Lemes Pisan/Luhur; digunakan pada orang yang lebih tua, kepada orang yang
belum dikenal dan untuk menceritakan orang yang lebih tua atau yang dihormati.
Contoh :
ü
waktos Bapak kepala gebis, panangana misalah. (waktu Bapak Kepala jatuh, tangannya luka).
ü
Wartosna tuang rama bade angkat ka Mekah, bade
sareng tuang ibu? (katanya Bapak mau
berangkat ke Makkah, mau sama Ibu?).
Bahasa
halus kepada yang lebih muda tidak pantas dipakai sama orang yang lebih tua.
2. Ragam
Basa Lemes keur Batur; digunakan kepada orang lain yang seusia dengan kita,
tetapi tidak akrab.
Contoh :
ü
Bade kamana kang (mau kemana mas).
ü
Timana urang the nya (dari mana ya), kalimat Tanya.
3. Ragam
Lemes keur pribadi/sedeng; digunakan untuk diri sendiri dan kepada orang yang
seusia dengan kita.
Contoh :
ü
Abdi dongkap teh teu ngabantun naon-naon, gaduh
artos oge mung saongkoseun (saya datang
tidak bawa apa-apa, punya uang juga Cuma cukup untuk ongkos saja).
ü
Pun adi udzur, teu daekeun neda-neda acan (adik saya sakit, makan saja sudah tidak mau).
4. Ragam
Basa Lemes Kagok/Panengah; digunakan pada orang yang lebih muda. Basa panengah
ini tidak begitu banyak, dalam penggunaan, biasanya campuran basa lemes (halus)
dan basa loma (wajar).
Contoh :
ü
Engke bae mulang teh mang, ngarah iuh (nanti saja pulangnya mang, supaya teduh).
ü
Pek geura dalahar kadinyah! (silahkan makan).
ü
Ari ieu cau kengeng lima ratus rupiah..? (pisang ini bisa lima rarus rupiah..?),
biasanya ini digunakan di warung.
5. Ragam
Basa Lemes Kampung/Dusun; digunakan dikalangan rakyat (pileumburan).
Contoh :
ü
Manggih naon kang peuting kamari ti gunng teh?
(dapat/ketemu apa kemarin malam dari
gunung itu).
6. Ragam
Basa Lemes Budak;
II RAGAM BASA LOMA (AKRAB, KASAR)
Basa
Loma atau biasanya disebut Basa Kasar, sebenarnya bukan dalam arti tidak hormat
kepada yang diajak bicara, melainkan karena digunakan untuk berkomunikasi
dengan orang yang sudah akrab dengan kita. Ragam basa ini ada dua jenis, yaitu
:
1. Ragam
Basa Loma/Akrab/wajar yang jaman dulu sering disebut dengan basa kasar. Basa
ini digunakan kepada orang yang sudah akrab atau intim dengan kita.
Contoh :
Kumaha
dulur maneh (silaing) teh geus cageur? (gimana
saudara kamu itu sudah sembuh?).
2. Ragam
Basa Garihal/Cohag/songong/Kasar Pisan. Ragam basa ini biasanya digunakan untuk
hewan atau oleh orang yang lagi marah.
Contoh :
ü
Cing singkirkeun cokor sia teh? (singkirkan kaki kamu).
ü
Pek lebok ku sia (makan sama kamu).
Tapi
dalam keseharian yang sering digunakan oleh masyarakat bisa diklasifikasikan menjadi
tiga golongan/ragam, yaitu :
A. Ragam
Basa Loma/Akrab/Kasar (A)
B. Ragam
Basa Lemes keur Pribadi (B)
C. Ragam
Basa Lemes keur Batur/Sedeng (C)
POLA-POLA
DALAM PENGGUNAAN BASA SUNDA
POLA I : A≠B≠C
Pola ini
adalah pola dalam menggunakan bahasa antara A, B dan C berbeda. Pola ini sangat
sedikit sekali.
Contoh :
ü Balik ≠ WANGSUL
≠ mulih (pulang)
ü bawa ≠ BANTUN≠
candak (bawa)
ü daha r≠ NEDA
≠ tuang (makan)
ü pamajikan
≠ BOJO ≠ geureuha/garwa (istri), dan lain sebagainya.
Contoh dalam kalimat :
ari maneh BALIK ka lembur teh iraha? (kamu mau
pulang ke kampong tuh kapan).
Dupi abdi WANGSUL ka buni teh bade enjing bae.
(saya mau pulang ke kampong besok aja).
Dupi akang MULIH ka lembur teh bade iraha (anda
mau pulang ke kampong kapan).
POLA II : A = B ≠ C
Pola
yang digunakan dalam komunikasi antar A dan B sama, tetapi dengan C bebeda,
biasanya berhubungan dengan anggota badan.
Contoh :
ü Huntu =
HUNTU ≠ waos (gigi)
ü Biwir =
BIWIR ≠ lambey (bibir)
ü Baju =
BAJU ≠ raksukan (baju)
ü Nginum =
NGINUM ≠ ngaleueut (minum)
ü Irung =
IRUNG ≠ irung (hidung)
Contoh dalam kalimat :
Cenah kamari maneh nyeri HUNTU, enggeus ka
dokter acan (katanya kemarin kamu sakit gigi, sudah ke dokter belum).
Abdi kamari nyeri HUNTU, numawi teu tiasa
donhkap ka kantor (saya kemarin sakit gigi, sehingga tidak bisa pergi ke
kantor).
Saurna Bapak nyeri WAOS dinten kamari teh,
kumaha ayeuna parantos damang (katanya Bapak kemarin sakit gigi, bagaimana
sekarang sudah sembuh?).
POLA III : A ≠ B = C
Dalam
penggunaan pola ini, A tidak sama dengan B, tetapi B sama dengan C.
Contoh :
ü Bungah ≠
BINGAH = bingah (gembira)
ü Eleh ≠
KAWON = kawon (kalah)
ü Kajeun ≠
sawios = sawios (biarin)
ü Kungsi ≠
KANTOS = kantos (pernah)
ü Tepung ≠
TEPANG = tepang (bertemu)
Contoh dala kalimat :
Jang Iwan kacida bungaheunana dumeh menang hadiah lebaran (Iwan sangat gembira
sekali, karena dia dapat hadiah lebaran)
Abdi kacida bingahna wireh kenging hadiah lebaran (saya gembira sekali karena
dapat hadiah lebaran).
Ibu Aminah kalintang bingaheunana wireh kenging hadiah lebaran (Ibu Aminah sangat
gembira karena dapat hadiah lebran).
POLA IV : A = B = C
Pola yang digunakan dalam komunikasi antara A, B dan C
sama. Termasuk
dalam pola ini bilangan, kalimat Tanya, kata penunjuk dan kata tingkatan.
Contoh :
ü Hiji =
HIJI = hiji (satu)
ü Tilu =
TILU = tilu (tiga)
ü Sabaraha
= SABARAHA = sabaraha (berapa)
ü Kumaha =
KUMAHA = kumaha (bagaimana)
ü Itu =
ITU = itu (itu)
ü Ieu =
IEU = ieu (ini)
ü Kahiji =
KAHIJI = kahiji (kesatu)
ü Kasapuluh
= KASAPULUH = kasapuluh (kesepuluh), dan lain sebagainya.
Contoh dalam kalimat :
Ari maneh juara kaSABARAHA? (kamu juara
keberapa).
Dupi Bapak juara kaSABARAHA? (Bapak juara
keberapa).
Abdi juara KAHIJI (saya juara kesatu).
Wan, bantal teh ngan aya HIJI (Wan, bantal tuh
Cuma ada satu).
Bapak, bantal teh mung aya HIJI (Bapak bantal
tuh Cuma ada satu).
Ari ITU naon jang? (itu apa).
Dupi ITU teh naon nya (itu apa ya).
PERSAMAAN
dan PERBEDAAN KATA
Basa
Sunda juga memiliki kata-kata yang sama dengan Bahasa lain.
Contoh :
§ Kata
Kabeh sama dengan Bahasa Jawa yang artinya semua.
§ Kata
isin sama dengan Bahasa Jawa yang artinya malu.
§ Kata
dahar sama dengan Bahasa Jawa yang
artinya makan.
§ Kata
odol sama dengan Bahasa Jawa yang artinya pasta gigi.
§ Kata
nginum sama dengan Bahasa Madura yang artinya minum, dan lain-lain.
Ada juga kata yang sama
penulisan dan pengucapan, akan tetapi artinya berbeda, di antaranya :
§ Kata
urang, kalau dalam Bahasa Sunda artinya saya, kalau Bahasa Jawa artinya Udang.
§ Kata
atos, kalau dalam Bahasa Sunda artinya sudah, kalau Bahasa Jawa artinya keras.
§ Kata
gedang, kalau dalam Bahasa Sunda artinya papaya, kalau Bahasa Jawa artinya
pisang.
§ Kata
cokot, kalau dalam Bahasa Sunda artinya ambil, kalau Bahasa Jawa artinya
digigit.
KATA
PUJIAN dan EJEKAN
Contoh :
Amis budi yang artinya ramah.
Panjang lengen yang
artinya suka mencuri.
FONOLOGI
Ada lima
suara vokal murni (a, é, i, o, u). Fonem
konsonannya di tulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s,
w, l, r, dan y.
Konsonan
lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f
-> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.
DIALEK
Dialek
(basa wewengkon) bahasa sunda juga beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten,
hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa jawa.
Dialek-dialek itu antara lain :
1)
Dialek Barat, dipertuturkan di daerah Banten
Selatan.
2)
Dialek Utara, mencakup daerah Sunda Utara
termasuk Bogor dan beberapa bagian Pantura.
3)
Dialek Selatan, adalah dialek priangan yang
mencakup kota Bandung dan sekitarnya.
4)
Dialek Timur Laut, adalah dialek di sekitar Kuningan
dan beberapa daerah di Brebes, Jawa Tengah.
5)
Dialek Tengah Timur, adalah dialek di sekitar Majalengka.
6)
Dialek Tenggara, adalah dialek sekitar Ciamis.
KIRATA
Dalam Basa Sunda cukup banyak kosa kata dari kata benda
yang artinya bisa ditebak/dikira-kira yang dalam Basa Sunda disebut Kirata
(dikira-kira tapi nyata).
Contoh :
v
Combro : Oncom dijero
v
Cilok : Aci dicolok
v
Colenak : dicocol enak
v
Cireng : Aci digoreng
v
Batagor : Baso Tahu Goreng
v
Dasi : dina dada ngarah aksi
v
Ojek : ongkos ngajegang
v
Angkot : angkutan kota
v
Guru : digugu dan ditiru
v
Korsi : cokor di sisi
v
Dosa : peledos teu karasa
v
Semah : ngahesekeun nu boga imah
v
Tamu : ditata dan dijamu